Aku
bersyukur, terpilih menjadi seorang CPNS. Memenangkan persaingan dengan
ratusan, bahkan ribuan pelamar lainnya. Dengan demikian aku akan segera
menerima SK CPNS. Dan jika tak ada halangan yang berarti, aku pun akan
menerima SK PNS setelah melalui diklat pra jabatan.
Aku
akan mendapatkan gaji tetap setiap bulannya, meski mungkin pas-pasan
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari istri dan anakku. Aku tidak akan
kebingungan untuk makan dan membeli sedikit keperluan lainnya. Sabun,
odol, buah-buahan, sandal, dan lainnya bisa kubeli dengan gaji bulananku
itu. Sampai aku tak bekerja pun (pensiun), aku tetap akan mendapatkan
gaji bulanan dari pemerintah, asalkan selama kerja tak bermasalah.
Empat
tahun sudah aku hidup sederhana menjadi seorang PNS. Meski seorang
guru, aku belum mendapatkan tunjangan sertifikasi. Menunggu giliran
dalam antrian yang panjang. Hidup dalam kesederhanaan bisa menjadi hal
yang menjemukan. Terutama bagi mereka yang biasa bergelimang kemewahan.
Jika mampu bertahan, seorang PNS akan terselamatkan. Terhindar dari
godaan korupsi demi mendapatkan kemewahan duniawi yang memabukkan. Rumah
mewah, mobil mewah, dan hal-hal mewah lainnya. Mungkin hanya sedikit
orang yang tak menginginkan itu semua di zaman seperti sekarang ini.
Zaman di mana iklan-iklan duniawi lebih dominan dibandingkan iklan
rohani. Zaman di mana materi seakan menjadi tolok ukur sukses tidaknya
seseorang.
Suatu
malam. Jam 11an. Istri dan anakku tertidur pulas di kamarnya. Sementara
aku masih memelototi layar televisi yang berada di ruang tamu. Televisi
yang menjadi bonusku mengontrak sebuah rumah. Selain terdapat televisi,
rumah kontrakanku juga telah dilengkapi perabot lainnya, seperti kursi
tamu, meja makan, perabot memasak, dan lain-lainnya. Aku membayar sejuta
sekian untuk mengontrak rumah itu selama satu tahun. Rumah itu tidak
dilengkapi dengan pompa air, hingga aku dan istriku harus menimba air
setiap harinya untuk keperluan mandi, mencuci dan lainnya.
Aku
bangkit, menuju kamar. Membuka lemari, mengambil map yang berisi SK PNS
dan SK CPNS milikku. Aku kembali menuju ruang tamu. Membuka isi map,
memandangi lembaran yang sudah dilaminating. Lembaran yang menetapkanku
sebagai abdi negara yang dibubuhi tanda tangan Pak Bupati. Ingin rasanya
membangunkan istriku. Membicarakan tentang kebutuhan hidup kami. Meski
tak dihimpit masalah ekonomi yang serius, tapi kami merasakan sesuatu
yang serba terbatas. Rumah belum punya. Sepedamotor masih mencicil belum
lunas. Serta keperluan lainnya yang semakin hari semakin meningkat.
Aku
melihat banyak teman-teman kerjaku yang memanfaatkan SK mereka untuk
“disekolahkan” di sebuah bank. Mereka akan menerima sejumlah uang dan
mengangsurnya setiap bulannya dengan dipotong gajinya.
“Ambil aja, Ton. Nanti kan kamu bisa membuat rumah, atau membeli mobil mewah,” ucap temanku di kantor.
“Masih pikir-pikir dulu, Rud,” jawabku menimpalinya.
Dulu
waktu belum menikah, aku pernah merasakan susahnya mengumpulkan rupiah
demi rupiah. Berjualan bensin eceran, pulsa, dan kebutuhan sehari-hari
melalui sebuah warung yang sangat sederhana. Warungku terbuat dari
triplek dan bambu. Mendapat untung seribu dua ribu saja dalam sehari aku
sudah sangat senang.
Kini
setelah menikah, aku membayangkan bisa kembali merasakan susah lagi
jika gajiku harus dipotong karena sebuah hutang. Awalnya mungkin senang,
menerima lembaran uang dalam jumlah ratusan juta. Namun setelah itu,
setiap bulannya aku hanya akan mendapatkan sisa gaji yang kecil. Aku
harus menjalani keadaan itu selama puluhan tahun.
Pulang
kerja. Capek. Harus melanjutkan berjualan di warung menggantikan
istriku yang sudah menjaga warung dari pagi. Sore hari, harus memberi
les privat dari seorang anak keluarga kaya. Di hari Minggu, harus menuju
ke kota menjadi tentor sebuah bimbingan belajar. Semua itu untuk
menambah pundi-pundi rupiah agar bisa bertahan setiap bulannya. Jika
kebutuhan semakin mendesak, istriku akan berhutang pada orang lain.
Dengan demikian hutang-hutang kami akan semakin banyak. Kami akan
semakin bingung untuk melunasinya.
Jika
aku memegang uang milik kantor, bisa saja aku tergoda untuk memakainya.
Itu semua karena terdesak. Akal sehat menjadi hilang. Korupsi.
“Belum tidur, Mas?”
Istriku mengagetkan lamunanku.
“Ini lagi pikir-pikir dengan SK ini.”
“Memangnya SK itu kenapa, Mas?”
“Bagaimana jika kita “sekolahkan” saja?”
“Untuk apa kita melakukan itu?”
“Aku ingin membeli kulkas, televisi, mesin cuci, kursi tamu, dan kebutuhan lainnya. Kita tidak ingin seperti ini terus, kan?”
“Tapi
kan bisa dengan cara menabung, Mas. Kita sisihkan sebagian uang kita
setiap bulannya. Nanti lama-lama kan bisa menjadi banyak.”
“Itu terlalu lama. Aku tak tega melihatmu seperti ini terus.”
“Tak
apa, Mas. Daripada dililit hutang lebih baik hidup seperti ini. Biarlah
dalam kesederhanaan yang penting menenangkan kita, Mas.”
Malam
itu, aku kembali menyimpan SK-SK itu dalam map dan meletakkannya di
lemari. Aku mengurungkan niatku untuk memanfaatkannya demi
berlembar-lembar rupiah. Aku akan kembali menjalani hidup bersama
keluargaku dengan kesederhanaan.
Tak
ada barang-barang mewah. Tak ada hidup susah karena harus mengumpulkan
rupiah yang sudah dipotong setiap bulannya. Barangkali ini memang adil.
Barangkali pilihan ini yang juga merupakan pilihan istriku memang benar.
Inilah aku, seorang PNS yang terkadang berada dalam dilema.
Sumber/ilustrasi : Kompasiana
Silahkan Gunakan Facebook Comment, Jika Anda Tidak Memiliki Url Blog!
Comments for blogger! brought to you by INFONETMU , Ingin Kotak Komentar seperti ini? KLIK DISINI!?
Post a Comment