Wanita muda itu dengan langkah terseok-seok menyusuri tanah basah. Dengan
derai airmata dan batin berkecamuk dia terus melangkah tak tentu arah.
Wanita muda yang biasa dipanggil Marni itu, terus berjalan tanpa
memperdulikan suara-suara yang sayup-sayup masih terdengar mencemooh dan
menghujatnya. “Dasar pelacur…wanita murahan…pergi kau dari desa ini…!”
teriak warga desa. “Engkau telah membuat aib dengan hamil tanpa
suami…!!” teriakan mereka menyesak batin Marni. Marni sadar betul dia
telah melakukan kesalahan sehingga menjadikan sebuah aib bagi keluarga
dan desa tempat ia tinggal. Tetapi apakah harus diperlakukan dengan cara
seperti ini, rintih Marni dalam hati. Siapapun bisa melakukan
kesalahan, tapi mengapa hanya dirinya yang seperti harus menerima
hukuman dengan diusirnya desa tempat kelahirannya. Airmatanya semakin
tumpah manakala ingat simboknya yang hanya janda tua harus tinggal
sendirian. Belum lagi harus menerima cemoohan dari tetangga karena
dianggap tidak mampu mendidik anaknya yang sekarang hamil tanpa suami. Marni
tahu dia telah berbuat salah dengan berzinah, tapi apakah harus
diperlakukan dengan cara yang hina sampai harus terusir dari desanya.
Marni tahu, dia tidak sendirian melakukan kesalahan yang hamil
tanpa jelas siapa suaminya, tapi tidak diperlakukan hina seperti yang
Marni alami. Mereka-mereka yang merupakan public figure masih
tetap tersenyum dan hidup bahagia tanpa sedikitpun diperlakukan kasar
oleh orang-orang di sekelilingnya walaupun telah berzina bahkan telah
mengandung anak yang bagi kebanyakan orang disebut anak haram. Sedangkan
bayi yang tidak mengerti apa-apa dan hanya merupakan buah dari dosa
orang tuanya mendapatkan sebutan yang tidak menyenangkan yaitu anak
haram. Marni sadar betul kalau dirinya hanya wong cilik, tidak bisa
menuntut persamaan hak seperti orang-orang kaya itu. Yang dilakukan
sekarang hanyalah bisa nerimo keadaan dan Marni berharap bisa menghadapi
ini sendirian.
Enam bulan yang lalu, Marni seorang gadis yang terkenal dengan kecantikannya memiliki segudang mimpi.
Berharap suatu saat dia menemukan jodoh orang kota yang bisa membawanya
keluar dari desa terpencil. Harapan itu semakin besar bersamaan dengan
kedatangan mahasiswa yang KKN di desanya. Rio laki-laki tampan yang dia
kenal bertemu tanpa sengaja berpapasan saat Marni berjalan menyusuri
pematang sawah. Pematang sawah yang mereka lalui menjadi saksi bisu
bagaimana dua insan muda itu jatuh hati. Adalah hal yang mudah bagi Rio
untuk mendapatkan hati Marni karena secara fisik Rio memang begitu
tampan dan macho. Akhirnya 2 insan itu memadu kasih, dan disela-sela
aktivitas KKN Rio menyempatkan diri menemui Marni di gubuk yang berada
di pinggir kali. Hingga suatu ketika Marni tidak kuasa menolak ajakan
Rio untuk berhubungan suami istri. Walaupun
awalnya Marni bersikeras menolaknya, namun pertahanan mulai runtuh kala
dijanjikan akan dinikahi dan diajak untuk hidup di Jakarta. Dan
akhirnya keperawanan itu terenggut, tanpa Marni sadari akibatnya. Ada
sedikit perasaan sesal namun teringat janji Rio, Marnipun akhirnya
melupakan kejadian itu. Hingga suatu ketika Marni merasa gelisah karena
sudah terlambat datang bulan dalam beberapa minggu. Bayangan sesuatu
yang Marni khawatirkan selama ini akhirnya muncul. Tidak mau terlalu
lama menahan gelisah, akhirnya Marni mencoba menghubungi Rio. Namun apa
yang terjadi adalah diluar dugaan, laki-laki yang dia cintai ternyata
sudah kembali ke kota karena masa KKN telah usai. Hancur luluh hati
Marni tak terkira menghadapi kenyataan bahwa Rio ternyata hanyalah
laki-laki pembohong.
Suara
amben bambu itu berderit ketika marni beringsut dari tempatnya. Sambil
mengelus-elus perutnya yang kian membesar, tatapannya tak lepas dari
jalan setapak depan rumahnya. Tak berapa lama muncul Warno pemuda desa
yang selama ini membantu Marni dalam pengasingannya di hutan. Warno yang
dari sejak dulu menaruh hati kepada Marni, memang harus menerima
kenyataan pahit ketika Marni lebih memilih Rio. Warno sddar betul bahwa
dia kalah dalam segala hal dari Rio, walaupun pada akhirnya Riopun meninggalkan
Marni. Namun begitu perasaan Warno terhadap Marni tidak berubah, yaitu
tetap mencintai marni walaupun hanya dalam hati. Warno tidak memiliki
keberanian mengungkapkan perasaan kepada Marni yang merupakan bunga
desa. Namun sayangnya bunga desa itu telah layu karena terenggut
kegadisannya oleh laki-laki yang tak bertanggungjawab. “Kang, benernya
kemarin suratnya sudah disampaikan belum sama mas Rio..?”tanya Marni.
“Sudah Marni…bener sudah aku sampaikan..” jawab Warno sambil duduk di sebelah Marni. “Tapi koq sampai sekarang mas Rio ngga datang-datang Kang…? Apa dia sudah lupa
sama Marni yaa…?” Tanya Marni lagi. “Ya aku ndak tahu Mar…yang penting
suratnya sudah aku sampaikan..” jawab Warno sambil beranjak dari amben.
“Sudah ya Marni, aku tak pulang dulu, sudah sore…takut ketauan simbok
kalau aku mampir disini…” Marni cuman bisa mengangguk lemah, “iyo
Kang…ngati-ati yooo…”.
Warno
sambil berjalan dalam hatinya ada perasaan bersalah karena telah
membohongi Marni. Yaa… Rio sampai kapanpun tidak akan pernah menemui
Marni lagi. Surat yang dititipkan Marni untuk diberikan kepada Rio urung
diberikan ketika mendatangi kampus tempat kuliahnya, Rio terlihat
berjalan sambil memeluk teman wanitanya dengan mesra. Warno merasa geram
kepada Rio yang selain telah merenggut kegadisan Marni juga telah
menghancurkan hati Marni. Rio yang dikenal Marni sebagai laki-laki baik
ternyata hanyalah laki-laki buaya yang senang berganti-ganti pacar.
Warno merasa Rio bukanlah laki-laki baik yang pantas bersanding dengan
marni. Itulah yang mendasari keputusan Warno untuk tidak memberikan
surat Marni kepada Rio. “Marni maafkan aku yaa…karena sampai kapanpun
Rio tak akan datang menemuimu” gumam Warno saat menoleh ke belakang
waktu melihat Marni dari kejauhan.
Bandung, 30 Januari 2013, diatas laju KA Turangga
Silahkan Gunakan Facebook Comment, Jika Anda Tidak Memiliki Url Blog!
Comments for blogger! brought to you by INFONETMU , Ingin Kotak Komentar seperti ini? KLIK DISINI!?
Post a Comment