Lanjutan dari tulisan sebelumnya (klik disini)
Jl. Jend. Jamin Ginting yang padat
pun tanpa hambatan, dikarenakan kami diiringi mobil dinas Dompet Dhuafa Waspada
yang kala itu sirine dihidupkan membuat arus jalan sedikit terkendali. Walaupun
padat merayap, lae sopir tidak canggung lagi dengan laju kendaraan di Jl. Jend.
Jamin Ginting itu.
Mobil dinas Dompet Dhuafa Waspada Medan |
Memasuki jalan yang
mulai berliku, hati sudah mulai was-was serta udara
yang dingin langsung merasuki ke tubuh ini, tak luput gendang telinga ini pun
ikut-ikutan kena dampak dinginnya udara menuju Tanah Karo ini. Lumayan sedikit
mengecilkan volume pendengaran kedua telinga ini. Perut yang
sudah mulai berdendang pun tak luput memaksa kami berhenti disalah satu Rumah
Makan ditepi jalan sekitaran daerah Bandar Baru yang bisa dibilang salah satu
tempat bisnis esek-esek dikawasan dingin tersebut. Tapi kami cuma makan di
Rumah Makan saja kok, enggak ada niat sedikit pun untuk singgah disalah satu Bungalow
yang sedikit menggoda karena panoramanya itu, hemm.
Akhirnya kami sampai juga di kota
Berastagi dan menemui Ustadz Didik yang mana salah satu koordintor dari Dompet
Dhuafa Waspada serta berdiskusi untuk menyalurkan bantuan yang kami bawa
kemana-mana saja. Beliau pun menyarankan untuk sebagian banyak disalurkan ke
daerah Tiga Binanga yang mana daerah itu jarang tersentuh bantuan dikarenakan
perjalanan cukup jauh dari berastagi kurang lebih menempuh 2 jam perjalanan.
Alhamdulillah, bantuan langsung kami
salurkan dibeberapa titik pengungsian antara lain Posko pengungsian Sipayung,
Islamic Center, Mesjid Agung Kaban Jahe, serta Maka Mauli (kurang lebih seperti
ini ejaannya, soalnya tidak menanyakan sih ), dan kami sisihkan untuk keposko
pengungsian di daerah Tiga Binanga.
Mendadak lagi nih. (mendadak pidato)
Ketika itu kami menyalurkan bantuan
di posko Mesjid Agung Kaban Jahe, setelah serah terima dan foto bareng pengurus
posko serta pengurus BKM Mesjid, lantas saya pun diajak kedalam ruangan mesjid.
Dimana para pengungsi lumayan banyak di posko Mesjid tersebut, kurang lebih 730
orang. Pengurus BKM yang bermarga Purba itu pun tak henti-hentinya mengucapkan
terima kasih kepada kami sebagai perwakilan rekan-rekan serta donatur di daerah saya
(kec. Bagan SInembah, Kab. Rokan Hilir-Riau). Tidak sampai disitu, pak Purba ini pun tidak segan-segan
dalam pidato sambutannya menyatakan kesedian saya untuk mengucapkan sepatah dua
patah kata dari saya yang kebetulan sebagai perwakilan. Alamak, apa yang mau
kuucapkan ini, seumur-umur belum pernah dapat kesempatan serta belum ada
persiapan untuk berbicara didepan
khalayak umum, apalagi sampai 700 orang lebih. Alhamdulillah, ternyata yang
namanya mendadak itu kalau diniatkan dengan tulus, Insya Allah akan berjalan
mulus. Yup, ternyata saya bisa dibilang non persiapan babarblas, tidak begitu
kaku dalam memberikan sepatah dua patah kata untuk para pengungsi di posko
Mesjid Agung Kaban Jahe tersebut. Plong rasanya setelah usai.
Mendadak pidato, atas permintaan pak Purba (BKM Mesjid Agung) |
Sebelum ke Tiga Binanga, mas Ustadz
Didik dan teman—teman dari Dompet Dhuafa Waspada pun menawarkan untuk
pergi ke kaki gunung
sinabung, berhubung kami bawa camera DSLR sayang momen indah ini dilewatkan,
kami pun mengiyakan untuk mengabadikan panorama dari balik lensa kamera.
Mumpung cuaca mengizinkan dan rasa penasaran akan kondisi desa-desa di kaki
gunung sinabung kami pun berangkat dengan mengendarai mobil dinas milik Dompet
Dhuafa Waspada tersebut.
Sungguh luar biasa kuasa Illahi akan
murkanya, dari radius 3 kilo meter (km) kami coba membidik gunung yang sering
batuk beberapa waktu sebelumnya. Pepohonan sudah seperti kena bedak alami dan membeku, putih dimana-mana, dan beberapa tunasan baru pohon keladi serta kol yang sudah kelihatan menghijau kembali. Untung saja ketika kami hadir dan merapat lagi
diradius 2 km gunung sinabung tidak menampakkan gejala batuknya, walau suara
gemuruh terdengar begitu jelas ditelinga saya yang sedikit membeku ini. Rasa
takut pun tak luput menghantui saya yang ketika itu agak jiper(ciut) diradius 2
km dari puncak Sinabung. Udara dingin pun semakin menusuk tulang, walau gunung
sering batuk-batuk tidak menyurutkan suhu udara meningkat drastis, malah serasa
di dalam ruangan ber AC.
Pepohonan yang seperti kena bedak alami |
Pohon keladi yang bertunas lagi, sedikit memberikan warna |
Sayuran Kol yang sudah mulai menghijau |
Salah satu SMP Negeri di Kecamatan
Nemanteran desa Sigarang garang tak luput dari amukan gunung sinabung, beberapa
ruangan kelas terlihat porak poranda menandakan hembusan awan panas gunung
sinabung cukup dahsyat kala itu. Tak jauh dari sekolahan terlihat perumahan
penduduk yang memutih akibat abu vulkanik dan tidak ada tanda-tanda kehidupan
diperumahan tersebut. Persis disebelah tembok pagar sekolahan, ada sebuah rumah
yang sudah tak berpenghuni, namun tetap dihuni oleh piaran situan rumah, yaitu
seekor Anjing yang menyambut kami dengan gonggonannya. Beberapa pohon kol
tampak sedang merekah memperlihatkan hijau daunnya diantara warna putih tanah
dan tumbuhan lain disekitarnya.
SMPN 1 Naman Teran, desa Sigarang-garang |
Ternyata supir mobil Dompet Dhuafa
Waspada tetap stand by di mobil
dengan meneriakan kami untuk segera kembali ke mobil karena kami semakin asyik
dengan kamera masing-masing. Karena napas cukup tersita dengan aroma
vulkaniknya, serta ada rasa yang menciutkan hati karena suara gemuruh yang
seakan mengancam kami, kami pun lanjut meninggalkan radius 2 km dari puncak
sinabung.
Gagal ke Tiga Binanga
Sekembalinya
dari kawasan Gunung Sinabung, kami pun berunding dengan relawan asal medan yang
dimotori oleh Dompet Dhuafa Waspada. Jika hendak melanjutkan ke Tiga Binanga,
sepertinya kita tidak punya banyak waktu. Sebab kala itu sudah menunjukan pukul
18.00 wib, dimana waktu tempuh ke Tiga Binanga menurut Sulaiman salah satu
pengurus Dompet Dhuafa Waspada menyatakan cukup memakan waktu sekitar dua jam
perjalanan.
“
Setidaknya waktu kita tidak sedikit untuk ke sana, dan sepertinya kita tidak
bisa menginap dan harus kembali ke kota Medan karena ke esokan hari ada jadwal
yang tidak bisa ditunda” ujar Sulaiman.
SMPN 1 Naman Teran, desa Sigarang-garang sebagian ruang kelas hancur |
Keputusan
pun segera diambil, dan kami sepakat untuk menyelesaikan penyaluran bantuan
yang kami bawa dar Provinsi Riau untuk disalurkan di posko sekitaran berastagi
dan kaban jahe. Walau sejujurnya ingin sekali ke daerah Tiga Binanga yang mana
saya dengar sendiri dari Ustadz Didik, bahwa daerah sana lah yang kurang
perhatian dari para donator. Dan sepertinya juga tidak ada tanda-tanda untuk
pengarahan kemana-mana saja bantuan yang kita bawa untuk disalurkan, jika hanya
daerah Kaban Jahe saja, bagaimana daerah Tiga Binanga disana.?
Karena
waktu dan cuaca serta iklim yang dingin, kami pun berencana untuk menginap di
Medan, dikarenakan lupa menyisakan selimut yang disumbangkan tadinya, hehe. Dua
posko pengungsian pun kami kunjungi antara lain Posko Induk GBKP dan Posko
Mesjid Istihrar. Karena waktu yang sedikit serta udara dingin kembali memprovokasi
warga kampung tengah (perut) untuk berunjuk rasa.
Serah terima di Posko Induk GBKP Kaban Jahe |
Kami pun santap malam di warung yang
sedikit berkelas dan sepertinya makanannya enak-enak dan mahal sudah barang
tentu, dan cara pembayarannya juga iuran antara supir dan kami berdua sebagai
relawan, hehehe.. (yang ini enggak usah diceritain kali ya, malu. Hihihihi)
Perjalanan pun dilanjutkan mengarah
kembali ke Kota Medan, sekitar pukul 20.00 wib dari Berastagi dan sekitar pukul
22.00 wib sudah sampai di Kota Medan Dan kami pun menginap di kantor Dompet
Dhuafa Waspada tepatnya di Jl. Setia Budi.
Foto bareng dengan teman-teman Dompet Dhuafa Waspada Medan |
Lega
bercampur senang, serta rasa haru yang tidak bisa saya ucapkan dengan
kata-kata, saya pribadi sungguh puas dengan kerja keras teman-teman semua dan
handai taulan yang sudah membantu dalam penggalangan dana untuk sinabung,
hingga selesainya misi kami semua. Misi untuk saudara-saudara sebangsa dan
setanah air. Segala puji bagiNya atas keselamatan kami yang mewakili untuk
menyalurkan bantuan ke pengungsian sinabung. Juga merupakan pengalaman saya
yang tiada duanya, pengalaman yang serba mendadak, mendadak yang bisa dibilang
cukup sukses walau ada istilah “tak ada gading yang tak retak”.
Dan terima kasih yang tak terhingga untuk para relawan yang rela menyita waktunya untuk penggalan dana sebelumnya, juga turut berduka untuk korban erupsi sinabung pada tanggal 02/02/14 kemaren waktu. Semoga amal baik selama hidupnya menjadi bekal untuk menghadap sang pencipta.
Salam.
Penulis : Iloeng Sitorus
Silahkan Gunakan Facebook Comment, Jika Anda Tidak Memiliki Url Blog!
Comments for blogger! brought to you by INFONETMU , Ingin Kotak Komentar seperti ini? KLIK DISINI!?
Post a Comment